Jumat, 21 November 2008

Membumikan Nilai Kepahlawanan


Setiap masyarakat negara punya pahlawannya sendiri yang sangat berjasa bagi peletak dasar dan pelopor bagi berdirinya negara itu. Setiap masa juga punya pahlawannya sendiri sesuai dengan perkembangan jaman, kebutuhan, pemikiran, dan pembaharuan. Namun masa kini tak dapat dipisahkan dengan masa lalu, karena apa yang kita dapatkan dan kita capai pada masa kini adalah akibat dari hasil pilihan, keputusan, dan perjuangan para pendahulu yang kita sebut dengan pahlawan tersebut.

Diperlukan pahlawan-pahlawan masa kini yang kontekstual, peka dan tanggap lingkungan, bekerja keras dan manusiawi untuk menangani berbagai permasalahan bangsa. Manusia- manusia yang tidak menyerahkan diri pada nasib, pihak atau keadaan yang tak dapat diubah, namun mampu mencukupkan kekurangan dan menambahkan kemampuan yang kemudian menjadi kelebihannya.

Perkembangbiakan dan pelestarian ketidaktahuan dan ketidakpahaman akan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kepahlawanan pada umat manusia, akan tumbuh dan berkembang pesat dengan lebih cepat daripada laju pertambahan jumlah manusia itu sendiri. Ini terjadi jika ada pengabaian, pembiaran dan tiadanya usaha sungguh-sungguh yang konkrit pada level masyarakat luas sehari-hari.

Oleh karena itu, budaya massal akan dengan cepat dimonopoli oleh pandangan tertentu, yaitu individualisme, konsumerisme, hedonisme, serba instan dan eksploitatif buta. Maka hidup pun akan terasa semakin dangkal tak bermakna. Semuanya dihitung dengan hitungan untung rugi ekonomi yang salah kaprah. Kesenjangan menjadi semakin dalam. Kepercayaan antarmanusia semakin sirna. Tanggung jawab, kejujuran, kenyamanan komunikasi, keramahan dan keamanan menjadi barang langka. Hal ini akan berdampak pada biaya ekonomi yang tinggi, karena harus pula memikirkan biaya jaminan keamanan, karena hilangnya rasa saling percaya dalam bermasyarakat tadi. Inilah dampak dari nilai-nilai dan konsep kepahlawanan, sikap ksatria, dan perwira yang semakin ditinggalkan. Kalau pun masih, hanya berhenti pada tataran wacana, tidak diwujudkan dalam peri kehidupan sehari-hari.

Kita juga tidak boleh terjebak dlam romantisme simbol, baju dan bentuk luar. Sampai pada pemujaan dan kultus individu yang berlebihan pada para pahlawan kita. Penyakralan, pengagamaan dan pengkultusan itulah, maka nilai-nilai kepahlawanan tidak memanusia, tidak membumi, dan tidak mengaktualisasi sesuai konteks kekinian. Nilai-nilai kepahlawanan ditempatkan pada tempat yang seolah maha tinggi, sehingga wajib mewujudkan dan melaksanakan seolah hanya subyektif pada para pahlawan di masa lalu dan sekarang diteruskan oleh keturunan dan keluarganya. Juga seolah hanya boleh dilaksanakan oleh orang-orang terpelajar, tokoh masyarakat, negarawan dan kalangan militer. Tidak sampai ke tingkat rakyat ‘kebanyakan’. Jadi seolah hanya menjadi milik atau hak sebagian orang, bukan milik seluruh rakyat. Rakyat hanya ditempatkan sebagai obyek, penikmat semu, penonton, pengamat, dan keranjang yang dijejali doktrin yang disakralisasi dengan tafsir tunggal yang diciptakan penguasa. Sehingga membuat rakyat menjadi bungkam, tidak punya sikap, pola pikir, pertimbangan, pilihan serta berkeputusan secara mandiri. Akibatnya mereka hanya menjadi pendukung dan pengekor buta yang tidak tahu akan dikemanakan, karena arah hidupnya sudah ditentukan oleh para patron yang berkuasa namun tidak bertanggung jawab. Di sinilah bukti bahwa feodalisme di negeri kita masih subur, walaupun telah berganti bentuk dan baju.

Nilai-nilai itu diperlakukan secara kaku, sehingga minim usaha untuk mengartikan ulang, membaharui sesuai konteks, merevitalisasikannya demi generasi sekarang dan masa datang. Dengan demikian nilai kepahlawanan hanya sampai pada tahap hafalan, sehingga tidak sampai ke pikiran, mengendapkan di hati, membatinkan di jiwa dan diwujudkan dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari.

Dengan konteks di atas, bangsa Indonesia secara sadar ataupun tidak telah mengingkari pengorbanan, jasa dan cita-cita luhur para pahlawannya. Tak heran jika bangsa ini tak kunjung bangkit dari krisis. Miskin pemimpin yang berkualitas, jujur, pekerja keras dan bermartabat. Miskin pelopor dan pembaharu yang berani mendorong menuju perubahan dan perbaikan, mendobrak kebekuan dan kemandegan, serta menantang arus air kotor yang makin deras mengalir ke jurang keterpurukan. Tak aneh jika bangsa ini menjadi negara yang taat beragama secara formal, namun juga sangat lihai untuk berkorupsi, manipulasi, memeras, menguras dan menggilas yang lemah. Senang pada hasil besar yang instan tanpa bekerja keras, dengan terus bermalasan, tidak memberi pada yang tekun, jujur dan benar, suka jalan pintas, bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, mabuk kemenangan semu di tengah jalan menuju kekalahan besar dalam proses yang belum selesai sama sekali. Tak heran pula jika sikap pengecut, penikmat semu dan pengkhianat terselubung sudah membudaya dalam sebagian besar rakyat kita. Sebagian diantaranya adalah perilaku lari dari tanggung jawab, tak mau menanggung akibat dan resiko, mencari keuntungan sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri tanpa memikirkan dampak buruk bagi orang banyak, melemparkan akibat buruk pada orang lain, dan mencari alasan ataupun pihak pendukung/ pelindung supaya ada pembenaran atas kesalahan yang dilakukan.

Nilai-nilai kepahlawanan mengarahkan kita sebagai manusia untuk tidak terpaku pada tujuan jangka pendek demi nafsu dan perut. Namun jauh lebih dari itu, menuntut komitmen kita untuk bertanggung jawab sebagai manusia yang berjiwa luhur, punya harga diri, martabat dan hati nurani.

Maka diubahlah sistem dalam usaha menanamkan dan mengimplementasikan nilai-nilai kepahlawanan sesuai dengan konteks masa kini. Mengubah paradigma lama, bahwa menghormati jasa pahlawan tidak berhenti pada menghafal nama, tanggal kelahiran dan kronologis peristiwa. Itu bukan titik habis, namun masih koma. Di belakang koma itulah perwujudan dan pelaksanaan yang membutuhkan komitmen, tanggung jawab, usaha dan keterlibatan bersama yang dilakukan sepanjang hayat. Pengejawantahan nilai-nilai kepahlawanan dalam unjuk kerja, belajar, perilaku, tata nilai, bersistem kehidupan secara berkelanjutan.

Masyarakat adalah tempat lahirnya nilai kepahlawanan, sekaligus tempat mempraktekkan nilai-nilai itu. Juga sebagai tempat perkembangbiakan nilai itu, baik secara kualitas, maupun kuantitas. Tempat membela kehidupan, kebenaran, keadilan dan kehormatan. Tempat memberikan informasi, menguji, mengevaluasi dan membaharui serta memperkuat nilai kepahlawanan. Negara lebih berperan sebagai fasilitator untuk mensosialisasikan, memperluas dan memperkuat sistem yang membumikan nilai kepahlawanan. Lembaga pendidikan adalah penggerak, terutama sebagai ‘gudang informasi’, tempat penggalian, pencarian dan penemuan kembali sejarah kepahlawanan bangsa yang masih terserak dan tersembunyi seantero Nusantara. Kemudian membangkitkan nilai-nilai kepahlawanan, mengkritisi tata bermasyarakat dan pemerintahan, dan gigih dalam mempelopori untuk memperjuangkan kebenaran.

Bangsa Indonesia harus pula menciptakan, melahirkan, memperbanyak dan membangkitkan kesadaran pahlawan-pahlawan masa kini yang masih mati suri. Pahlawan-pahlawan masa kini sebenarnya adalah rakyat itu sendiri, namun masih banyak yang masih belum terbangkitkan, baik karena sulit dan kurangnya akses, teladan, pendidikan, informasi, maupun kurangnya kemauan, usaha, kesadarannya sendiri. Sehingga bangsa ini bisa mengaktualisasikan diri, bebas namun bertanggung jawab, membangkitkan potensi diri, penuh nilai luhur akan kebenaran dan kemanusiaan, serta penghormatan martabat sebagai manusia baik pada diri sendiri maupun orang lain.

Pada hakikatnya setiap orang punya jiwa-jiwa kepahlawanan. Rakyat siapapun dia tanpa kecuali, punya martabat dan derajat yang sama, yang sama-sama berhak bahkan wajib mewujudkan nilai-nilai kepahlawanan dan menjadi pahlawan-pahlawan masa kini. Apalagi tradisi besar bangsa kita di masa lalu yang melahirkan dan menghasilkan banyak sekali pahlawan di tengah tekanan, penderitaan dan keterbatasan.

Dalam kehidupan sehari-hari, minimal dengan bekerja secara keras, cerdas, jujur dan bermartabat, kita sudah mewujudkan nilai-nilai kepahlawanan seketika itu juga. Ini jauh dari kesan sekenanya dan hanya sekedar basa-basi. Ini malah akan membawa dampak baik bagi kita, yaitu memelihara dan memperkuat jiwa kita, hati nurani, kepercayaan diri, karakter. Juga akan mewujudkan kemandirian, prestasi, kebebasan, kesejahteraan dan persaudaraan sejati.

Berbagai peristiwa yang terjadi di negeri kita, baik krisis ekonomi, krisis kepercayaan, krisis kemanusiaan, bencana alam, maupun bencana akibat ulah manusia, kerusuhan, maupun berbagai hal dalam berbagai lini kehidupan manusia (politik, ekonomi, sosial, budaya ), seharusnya menjadi refleksi. Ya, refleksi bahwa ada yang salah pada cara berpikir, perilaku, berkeputusan dan bertindak kita. Bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara kitalah yang melenceng jauh dari cita-cita para pahlawan. Pahlawan menjadi teladan supaya kita selalu renungkan dan membatinkan apakah cita-cita kita sesuai dengan cita-cita besar yang mereka dasarkan bagi kita? Bagaimana kita bertindak selama ini, dan bagaimana kita berencana sebagai pedoman tindakan di masa datang. Hal itu menuntut perhitungan yang matang dan detail.

Pahlawan dengan segala keteladanan dan nilai-nilai yang dijunjung dan dibelanya, bukanlah simbol pelengkap dan ide yang diam, pasif dan milik sebagian orang saja. Harus diubah pola pikir bahwa kepahlawanan hanya berhenti di makam-makam, museum, gedung atau tempat bersejarah, buku-buku dan foto-foto. Tapi pada hakikatnya teladan, nilai dan ide-ide luhur itu membutuhkan peran kita sebagai generasi penerus untuk mengejawantahkannya. Pahlawan tidak membutuhkan pujaan dan penghormatan berlebihan, tapi cita-citanyalah yang menyatukan mereka sebagai peletak dasar negeri dan masyarakat bangsa, dengan generasi sekarang dan masa datang dalam mewujudkan cita-cita itu.

Cita-cita pahlawan pada hakikatnya adalah manifestasi dari seluruh cita-cita luhur bangsa. Semangat, nilai-nilai, dan cita-cita yang mereka teladankan harus membuat kita semakin berani secara ksatria menghadapi tantangan dan masalah, baik dari luar maupun dari dalam diri kita. Semakin menghindar atau meminjam kekuatan dari luar, akan semakin menghancurkan dan mengasingkan kita dari kemanusiaan, kemasyarakatan, kebudayaan, dan kebangsaan kita sendiri. ***

Tidak ada komentar: