Minggu, 30 November 2008

Mentalitas Presiden

by : Ubaydillah, AN (www.e-psikologi.com)

Bayangkan kalau anda saat ini sedang menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Dengan kondisi ekonomi dalam negeri yang dirasakan belum pulih dari krisis, maka andalan yang bisa menopang adalah devisa luar negeri yang didapatkan dari sektor pariwisata. Tak lama berjalan, peristiwa pengeboman dan ancaman keamanan lain yang mengganggu membuat sektor andalan ini pun akhirnya terganggu. Andalan penopang berikutnya adalah sektor pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Itupun tak berjalan lama karena tiba-tiba kawasan Timur Tengah yang selama ini paling banyak mendatangkan tenaga kerja dari Indonesia dilanda perang. Masih bisa tenang karena negara lain yang membutuhkan tenaga kerja dari Indonesia diperkirakan cukup untuk bertahan sampai perang usai. Namun ternyata virus flu burung datang melanda sejumlah negara yang diandalkan itu. Jadi ?

Tentu sudah bisa dibayangkan reaksi penolakan masyarakat kalau misalnya selaku presiden atau wakil presiden tidak bertanggung jawab atas jumlah kesempatan kerja di sektor pariwisata yang drastis turun di Bali, karena yang meledakkan Bom bukan aparat pemerintah atas instruksi presiden. Silahkan para calon TKI mengurusi dirinya masing-masing karena yang berperang bukan pemerintah RI tetapi Bush dan Saddam. Dan carilah doa yang cocok atas virus flu burung.

Lalu apa sebenarnya kunci sukses seorang presiden untuk bisa keluar dari masalah yang sangat kompleks seperti tersebut diatas? Jika ditelaah lebih lanjut maka kunci suksesnya terletak pada kualitas mental seorang presiden. Pertanyaan berikutnya adalah dari manakah kualitas mental itu bisa dipelajari?


Mengambil Tanggungjawab Negeri

Ilustrasi di atas rasanya cukup untuk mengatakan bahwa kunci mendapatkan reward sebagai seorang presiden adalah terletak pada kualitas mental. Meskipun secara politik jabatan presiden hanya diduduki oleh segelintir orang dalam kurun waktu lima tahun atau lebih, tetapi secara alamiah semua manusia telah menjadi "presiden" bagi negeri-dirinya. Persoalan yang timbul kemudian, mengapa tidak semua orang mendapat reward sebagai presiden dari negerinya? Dapat ditebak, karena mentalitas untuk mempertanggungjawabkan persoalan negeri diserahkan kepada presiden negeri lain.

Jabatan presiden secara politik dan alamiah menuntut tanggung jawab persoalan negeri tidak sekedar "from enjoyment to enjoyment" tetapi ketika berupa tanggung jawab maka enak dan tidak enak haruslah dijadikan santapan pertama untuk ditelah. Dari penjabaran imajinatif di atas, persoalan yang menjadi tanggung jawab presiden bukan semata persoalan yang diakibatkan oleh pengabaian birokrasi yang bobrok di dalam negeri tetapi persoalan yang sifatnya efek samping dari persoalan yang dibuat oleh orang lain di negerinya ketika efek samping itu sudah punya pengaruh riil terhadap kehidupan di dalam negeri. Mentalitas presiden seperti yang dikatakan Covey adalah menentukan reaksi yang cocok atas efek yang ditimbulkan oleh lingkungan dan orang lain. "Our ultimate freedom is the right and power to decide how anybody or anything outside ourselves will affect us."

Atas tanggung jawab yang besar itu, seorang presiden dituntut memiliki keahlian untuk mengalokasi resources mengingat watak persoalan yang bisa muncul dari negeri lain terkadang seperti kata Shakespeare bahwa persoalan amat sangat jarang muncul secara sendirian melainkan menyerbu dari segala penjuru. Selain itu persoalan seringkali muncul dalam kondisi di mana anda belum benar-benar siap menerimanya. Bisa jadi penyebab persoalan sudah ditemukan tetapi bentuk solusi yang dibutuhkan belum ditemukan. Kalau bentuk solusi ditemukan mungkin saja cara untuk menuju solusi masih gaib. Begitu penyebab, solusi dan cara sudah didapatkan barangkali yang muncul adalah teka-teki pilihan yang juga tidak bisa dibilang gampang. Persoalan situasional demikian memang hanya terjadi dalam siklus tertentu yang juga menjadi bagian dari hidup ini.


Living with PANCASILA

Baik jabatan politis atau mentalitas, seorang presiden sudah dibuatkan acuan bagaimana solusi persoalan negeri dapat diciptakan. Salah satu acuan yang dapat dijadikan materi pembelajaran diri adalah rumusan Pancasila yang antara lain sudah berisi ajaran tentang:


1. Meletakkan Tuhan

Tuhan adalah nilai-nilai keluhuran di langit, sumber kekuatan tak terbatas, dan kontrol keseimbangan hidup yang secara mekanisme-tekhnis telah diatur oleh semua agama baik samawi atau ardhi. Bertuhan dengan demikian menjadi kebutuhan naluriah semua manusia sampai pun ketika manusia menolak untuk mengakui, kebutuhan itu akan tetap muncul pada titik di mana manusia tidak bisa menahan. Orang yang tidak merasa dirinya punya pegangan nilai-nilai ketuhanan, merasa tidak mendapat perlindungan, merasa tidak dikontrol oleh nilai-nilai itu maka secara psikologis akan mudah goyah atau gampang menciptakan deviasi penyimpangan perilaku yang menyebabkan kerusakan bagi dirinya, orang lain dan alam.


2. Kemanusiaan

Persoalan dalam negeri tidak bisa diselesaikan hanya dengan kekuatan tak terbatas Tuhan yang masih di langit melainkan perlu proses bagaimana mengejawentahkan nilai dan kekuatan itu di dalam diri berdasarkan hukum bumi. Bagian mendasar hukum bumi untuk menyelesaikan persoalan adalah menjalin hubungan kemanusiaan secara adil: win-win position, sikap assertive dan beradab: kredibilitas moral dan perlakuan rasional-humanistik. Hubungan kemanusian yang adil dan beradab adalah cadangan ketika kita menghadapi persoalan yang secara matematis tidak bisa dilumpuhkan oleh keterbatasan yang kita miliki. Persoalan itu baru akan selesai ketika anda punya jalinan hubungan dengan manusia lain yang kekuatannya cukup.


3. Persatuan

Persatuan adalah upaya menciptakan kreasi kekuatan ketiga yang lebih kokoh untuk menghadapi persoalan hidup. Ide pokok persatuan bukan bagaimana menyatukan sesuatu yang sudah sama tetapi menyatukan hal yang berbeda mulai dari tingkat internal dan eksternal. Di tingkat internal persatuan adalah mengerahkan sekian kekuatan yang secara alamiah berbeda fungsinya untuk menggempur tantangan internal seperti ragu-ragu, pikiran negatif, sikap mental yang dihegemoni rasa tak berdaya, malas, dan lain-lain. Di tingkat eksternal, seluruh kreasi ketiga baik dalam bentuk barang atau jasa dihasilkan dari persatuan kekuatan yang berbeda dengan sentuhan ide kreatif. Semakin banyak wilayah yang dapat kita satukan berarti semakin besar kekuatan yang kita miliki untuk mennyelesaikan masalah.


4. Kerakyatan

Agar kreasi kita tidak menjadi bencana yang berarti awal dari problem maka dibutuhkan ketaatan terhadap kaidah kepemimpinan yang merujuk pada kehikmahan dan kebijaksanaan. Hikmah adalah penemuan makna hidup dan kebijaksanaan adalah kematangan yang mempertimbangkan posisi orang lain dan alam menurut kepentingan kemaslahatan. Keduanya merupakan manifestasi dari persatuan kekuatan, hubungan kemanusian dan hubungan ketuhanan. Kepemiminan presiden yang merujuk pada kebenaran sendiri jelas akan menyengsarakan rakyat di dalam negeri dan orang lain. Dengan kesengsaraan yang ditimbulkan maka sangat mungkin presiden perlu dilengserkan oleh kekuatan lain. Kalau kita sering menggunakan kebenaran sendiri tidak berarti akan menambah kekuatan justru bisa jadi akan membuka peluang untuk dilengserkan oleh diri kita dan orang lain.


5. Keadilan

Lawan dari keadilan adalah kezaliman yang berarti meletakkan sesuatu secara terlalu berlebihan sehingga merugikan sesuatu yang lain. Kebutuhan naluriah bertuhan harus diletakkan secara adil dengan kebutuhan alamiah untuk menjalin hubungan kemanusiaan. Kebutuhan alamiah untuk menjalin hubungan kemanusiaan harus diletakkan secara adil dengan kebutuhan ilmiah untuk mengasah kekuatan internal dan eksternal secara bersatu dan begitu sebaliknya. Tanpa ikatan yang meletakkan sesuatu secara adil, sangat jauh dari kemungkinan untuk menciptakan persatuan atau kepemimpinan hidup secara hikmah dan bijaksana. Dalam kondisi demikian mungkin sekali persoalan datang seperti pasukan dan tanggung jawab untuk merebut solusi diterima dengan cara membiarkan sebab tidak ada cadangan untuk menyelesaikan.

Ajaran Pancasila yang sebenarnya sudah mengandung dorongan untuk mengasah kecerdasan Intelektual, Emosional, dan Spritual, kalau dipikir lebih dalam, ternyata tidak cukup diterima hanya untuk dihafalkan tetapi menuntut komitmen "Living with" yang secara tidak langsung menuntut pembelajaran diri seperti bayi melangkah (baby-step learning model). Semoga hal ini menjadi renungan bagi kita semua.

Sakit Mental Pemimpin

by : Rhenald Kasali


Pemimpin tetaplah manusia biasa. Ia bisa lahir dari keluarga bahagia yang penuh kasih sayang, tapi juga bisa datang dari kalangan yang terbuang. Dan yang datang dari kalangan yang pertama belum tentu mampu memimpin dengan baik. Demikian pula yang dilahirkan dari kelompok ke-dua.

Di dunia ini kita bisa menemukan macam-macam tipe pemimpin, mulai dari pemimpin yang tegas, berani dan bijak, sampai pemimpin yang populis yang tidak berani. Di tengah-tengah kedua kutup itu terdapat banyak varian yang membuat kepemimpinan tidak efektif.

Banyak pemimpin yang berpikir ia akan sukses kalau ia bisa membuat segala sesuatu tenang. Living in harmony. Bila ada konflik ia segera bertindak. Setiap kali ada pihak yang mengadu ia tanggapi dengan menekan yang diadukan. Kadang cukup dengan perintah atau keluhan yang cukup membuat orang yang diadukan gerah. Karena pihak yang diadukan diam saja, maka urusan beres. Yang ia tidak tahu adalah, terjadi konflik yang semakin keras di level menengah yang mengakibatkan proses manajemen menjadi kacau dan hasil akhir yang diharapkan tidak optimal.

American Psychiatry Association mengingatkan agar hendaknya kita selalu berhati-hati karena dalam diri kita masing-masing selalu saja ditemui benih-benih penyakit kejiwaan. Mereka menyebutnya sebagai Mentally disorder personality type yang mengakibatkan kepemimpinan tidak efektif. Penyakit-penyakit jiwa seperti ini sesungguhnya banyak kita temui sehari-hari. Dari ke-15 penyakit jiwa itu, ada 9 (sembilan) yang saya lihat sangat mudah kita deteksi sebagai berikut.

Pertama adalah tipe pemimpin narcistic. Ini adalah pemimpin yang selalu ingin dianggap orang, bahkan ingin dianggap besar dan dikagumi (a need for admiration). Perilakunya persis seperti perilaku obsesif seorang yang kita lihat dalam sebuah iklan produk rokok nasional yang seakan-akan merasa dirinya seperti sutradara film terkenal (obsesi sutradara)

Yang kedua disebut yaitu orang yang memiliki rasa waspada yang sangat berlebihan (hypervigilant) karena sangat tidak percaya pada orang lain. Ia bahkan menduga orang-orang lain, bahkan orang-orang berprestasi tinggi yang diterima oleh publik sebagai orang-orang yang tidak jujur dan selalu memiliki agenda terselubung. Ia sangat mudah gelisah, khawatir, dan terlalu berhati-hati.

Tipe ketiga berikut ini ada banyak kita temui di sektor birokrasi dan di kalangan mereka yang mendalami ilmu/profesi di bidang keuangan. Mereka cenderung perfectionist, teliti, detail dan kontrol. Mereka menuntut dirinya dan orang-orang lain agar selalu patuh pada tahapan-tahapan prosedur dan aturan-aturan. Bagi mereka orang-orang yang tidak patuh adalah tidak bermoral, meski mereka sendiri tahu tidak mudah melakukan itu dan seringkali banyak kejanggalan-kejanggalan. Akibatnya mereka menjadi rigid dan dogmatik. Cenderung tertutup dan tidak memberi ruang bagi kreativitas dan hal-hal baru.

Berikutnya adalah tipe histrionic (histrionic personality). Ini adalah pemimpin yang senang mencari perhatian dari orang lain, tutur katanya seakan hangat, tetapi cenderung mendramatisasi sesuatu dan menggoda. Ia memiliki emosi yang berlebihan dan cenderung berkelompok.

Yang kelima adalah tipe dependent, yaitu orang-orang yang sulit bertindak mandiri. Ia selalu meminta petunjuk, submissive, sangat patuh dan cenderung menjadi, maaf, penjilat. Semua itu dilakukan dengan kesadaran bahwa dirinya bukanlah apa-apa. Dan karena itu ia mampu menghilangkan kediriannya. Ia selalu menunggu approval (persetujuan) dari orang lain.

Selain itu juga ada tipe depressive yang cenderung memiliki pesimistic outlook tentang segala hal. Di dalam situasi yang berubah dan mencekam, khususnya dalam masa transisi, pemimpin yang memiliki karakter seperti ini dengan mudah dapat kita temui. Di kalangan pengamat ekonomi dan politik misalnya, kehadiran mereka sangat terasa. Selain berbicara tentang segala hal secara negatif, sehingga seakan-akan tidak ada hari esok, mereka juga menyindir sinis setiap hal yang berbunyi positif dan optimistik. Mereka selalu menjanjikan faktor-faktor yang buram lewat kacamatanya yang gelap.

Kita masih punya tiga tipe pemimpin berpenyakit jiwa lainnya, yaitu schizotypical, passive-aggresive dan antisocial. Mari kita lihat satu per satu. Schizotypical adalah pemimpin yang cenderung eksentrik, selalu ingin berbeda, dengan kata-kata yang tidak enak didengar, sinis dan ingin cepat-cepat mengkritik orang lain. Di seminar-seminar ia selalu ingin angkat tangan dan cepat-cepat menusuk pikiran orang lain dan menganggap mereka salah dan hanya dirinya yang paling tahu. Akibatnya ia menjadi sulit dimana-mana, sulit membangun hubungan dengan orang lain.

Sementara itu, passive-aggresive adalah tipe pemimpin yang sulit sekali berkata “no” (tidak). Ia selalu ingin menyenangkan orang lain dan merasa mampu melakukan apa saja. Padahal ia punya keterbatasan-keterbatasan, namun mulutnya sulit menolak. Akibatnya ia akan mengalami suasana yang sulit, yaitu gagal berkomitmen.

Dan terakhir adalah tipe antisocial. Yang terakhir ini Anda dapat temui di berbagai rumah tahanan. Mereka adalah orang-orang yang selalu melanggar hukum, tidak merasa bersalah, tetapi sulit dipegang kata-katanya. Selain tidak jujur dan licin, selalu ada saja yang ditipunya.

Nah, masuk kategori manakah Anda? Mudah-mudahan tidak. Saya percaya kita adalah manusia pembelajar yang mampu me-recode dna kita. Namun kalau hasil yang Anda capai tidak optimal, baik bagi diri Anda, keluarga, ataupun perusahaan/organisasi, ada baiknya Anda memeriksa diri Anda baik-baik. Siapa tahu, persoalan itu ada di sini, di kepala kita sendiri. Ketika kita tidak bisa merubah orang lain, maka kita perlu berpikir. Jangan-jangan kita sendiri yang harus kita sembuhkan. Mari kita memeriksa diri kita.

Kuper

by : Rhenald Kasali

Seorang direktur utama terkenal sebuah Badan Usaha Milik Negara sangat besar di negri ini pernah berujar bahwa karyawan-karyawannya “kuper”. Saya agak maklum karena dirut ini bukanlah orang karier di perusahaan itu, melainkan diimport dari luar. Lagipula ia sudah banyak makan asam garam memimpin sejumlah perusahaan yang berbeda-beda.

Dibilang begitu tentu ada banyak orang yang tidak terima.

“Ini perusahaan besar, jangan main-main,” ujar seorang senior yang sangat dihormati di sana menolak ucapan itu.

Yang lain melanjutkan: “Emangnya dia pernah punya portfolio sebesar perusahaan ini? Jelas berbeda lah.”

Singkatnya mereka tidak terima.

Begitulah manusia memang cenderung menyangkal terhadap fakta-fakta baru yang mereka dengar. Faktanya sangat benar, mayoritas orang-orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar, kemungkinan besar memang kuper (kurang pergaulan).

Bagaimana tidak?

Waktu mereka 95% dihabiskan di dalam perusahaan. Pulang-pergi adalah dari dan ke kantor yang sama. Tugas ke luar kota juga begitu. Begitu mendarat di bandara, mereka langsung dijemput protokol kantor. Jadi bergaul dengan sopir taxi saja tidak ada waktunya. Rapat, seminar, makan siang atau makan malam, pun dilakukan beramai-ramai dengan rekan kantor. Di kantor disediakan pula band pengiring untuk makan siang, sehingga siapa saja boleh bernyanyi di sana. Main tennis juga bisa di mess kantor. Bahkan tak jarang pula yang rumahnya disediakan kantor pada area tertutup untuk orang-orang lain.

Cobalah tengok ke dalam (perusahaan) dengan tatapan yang lebih halus. Spouses (pasangan, suami atau istri mereka) ternyata juga ditemukan (berjodoh) di kantor. Kasus-kasus perselingkuhan juga ditemui pada rekan-rekan kerja. Dan yang lebih menarik lagi, semua orang betah bekerja di kantor: turn-over karyawan sangat rendah, rata-rata usia karyawan di atas kepala empat dan promosi jabatan semuanya berasal dari dalam.

Implikasinya sangat jelas, organisasi menjadi tertutup dari dunia luar. Semua orang hanya membicarakan diri mereka sendiri, yaitu karier pribadi dan karier teman-temannya, fasilitas yang mereka terima, rezeki masing-masing, serta memperolok teman-teman yang tampak berbeda. Mereka memperolok orang yang bekerja lebih tekun dari mereka, atau mempunyai harta yang lebih banyak. Kalau ada yang rela pulang lebih larut malam dianggap sebagai penghianat dari pada prestasi. Kalau bos dekat dengan salah satu orang yang bukan anggota paguyuban mereka, akan segera disikat.

Banyak orang yang berkata bahwa orang lain tidak jujur, padahal kata-kata itu cuma refleksi dari perbuatannya sendiri. Mereka mudah tersinggung, senang ngomong negatif di belakang, tidak berani terus terang, senang menghambat orang-orang berprestasi, dan menganggap diri merekalah yang paling bermoral.

Fakta sesungguhnya: Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi di luar sana. Mereka hanya ngomel-ngomel, tapi tahukah mereka bahwa mereka sesungguhnya orang yang paling dikeluhkan?

Tentu saja masih ada orang yang tidak demikian pada lembaga-lembaga bernama besar. Mereka kerja keras, banyak gaul keluar dan berpotensi jadi pemimpin. Namun mereka sering terpinggirkan.

Fakta-fakta ini adalah persoalan terbesar dalam perubahan. Orang-orang yang tidak pernah melihat cahaya akan merasa terganggu manakala seorang membuka jendela di ujung sana. Mereka segera berteriak-teriak minta ditutup. Mereka mengabaikan pasar, mereka merasa diri merekalah yang paling tahu. Padahal mereka sedang ditinggalkan dan bahkan ditertawakan oleh pasar (konsumen).

Solusinya sederhana sekali: Buka semua jendela yang ada agar hawa segar segera masuk, nyalakan lampu-lampu yang telah lama di matikan, lalu buka pintu lebar-lebar dan biarkan orang-orang di luar masuk ke sini, dan biarkan mereka yang di dalam ikut bermain di luar. Lalu buka pelatihan-pelatihan ke luar, biarkan pelatihan-pelatihan Anda diikuti karyawan/eksekutif dari luar kantor Anda. Buat semua orang bergaul, dan hapuskan fasilitas-fasilitas paguyuban agar mereka semua mau juga bergaul di luar.

Setelah itu bongkar struktur organisasi yang tertutup, perbaiki budaya organisasi dan lindungi orang-orang baru agar tidak menjadi sama dengan orang-orang lama. Pergaulan luas adalah modal penting untuk menafsirkan evolusi. Sesuatu yang berubah tak dapat dipahami oleh orang-orang yang hanya sembunyi dalam tempurungnya masing-masing. Pergaulan luas akan mengangkat rasa percaya diri dan membuang prasangka-prasangka negatif. Lihatlah mereka akan kegerahan dan berteriak-teriak. Tapi itulah kesempatan yang terakhir bagi mereka untuk melakukan itu.

Selamat menimbulkan kekacauan, untuk kebaikan.

Modal Sosial

1.Latar Belakang Masalah

Penganggguran terus bertambah. Kemiskinan semakin sulit dikendalikan. Kriminalitas semakin meningkat dimana-mana. Francis Fukuyuma (1999) dengan meyakinkan beragumentasi bahwa Modal Sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial sebagai sine qua non bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi. Unsur penting dari “social contract” ini antara lain apa yang mereka sebut sebagai karakteristik jaringan sosial, pola-pola imbal balik, dan kewajiban-kewajiban bersama. Seperti apa yang dilakukan oleh Marx dan Engles dengan konsep keterikatan yang memiliki solidaritas (bounded solidarity) yang menggambarkan tentang kemungkinan munculnya pola hubungan dan kerjasama yang kuat, ketika suatu kelompok berada dalam tekanan negara atau kelompok lainnya.


2. Konsep Modern Tentang Modal Sosial

Modal Sosial menjadi fokus diskusi dan penelitian serta pengembangannya dalam berbagai kebijakan pembangunan terutama sekali banyak diilhami oleh karya-karya Robert D Putnam seperti; Making Democracy Work: Civic Transition in Modern Italy, 1993, dan Bowling Alone: America’s Declining Social Capital,1995. Begitu juga dengan Francis Fukuyama dengan karyanya The End of History and The Last Man, 1992; Trust, The Social Virtues and The Creation of Prosperity, 1995; The Great Disruption, Human Nature and The Reconciliation of Human Order, 1999; Social Capital and Civil Society, 1999; Social Capital and Development: The Coming .- 2002, dan beberapa karyanya yang lain. Pierre Bordieu (1983, 1986) dengan sosial teorinya. James Coleman yang mengkhususkan bahasannya pada dimensi Modal Sosial dan pendidikan (1998), dan masih banyak lagi para pemikir Modal Sosial yang lainnya.


3.Definisi Capital Social

Modal Sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumber daya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan dan di investasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainnya yaitu Modal Manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal sebagai kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan. Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang besifat imbal balik dalam suatu bentuk hubungan sosial. Robert D Putnam (2000) memberikan proposisi bahwa suatu entitas masyarakat yang memiliki kebajikan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi akan dipandang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat Modal Sosial yang rendah.

Randall Collin (1981) melakukan kajian tentang apa yang dia sebut sebagai phenomena mikro dan interaksi sosial yaitu norma dan jaringan (the norms and networks) yang sangat berpengaruh pada kehidupan organisasi sosial. Norma yang terbentuk dan berulangnya pola pergaulan keseharian akan menciptakan aturan aturan tersendiri dalam suatu masyarakat.Aturan yang terbentuk tersebut kemudian akan menjadi dasar yang kuat dalam setiap proses transaksi sosial, dan akan sangat membantu menjadikan berbagai urusan sosial lebih efisien. Ketika norma ini kemudian menjadi norma asosiasi atau norma kelompok, akan sangat banyak manfaatnya dan menguntungkan kehidupan institusi sosial tersebut. Kekuatan-kekuatan sosial dalam melakukan interaksi antar kelompok akan terbentuk. Pada akhirnya mempermudah upaya mencapai kemajuan bersama.Bank Dunia (1999) mendefinisikan Modal Sosial sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan- hubungan yang tercipta, dan norma norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat.Cohen dan Prusak (2001) memberikan pengertian bahwa Modal Sosial sebagai stok dan hubungan yang aktif antar masyarakat. Setiap pola hubungan yang terjadi diikat oleb kepercayaan (trust) kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif


4. Unsur Pokok Modal Sosial

1. Partisipasi Dalam Suatu JaringanSalah satu kunci keberhasilan membangun Modal Sosial terletak pula pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial.Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Kemampuan anggota anggota kelompok/masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergetis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok.

2. ResiprocityModal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprokal seketika seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain). Dalam konsep Islam, semangat semacam ini disebut sebagai keikhlasan. Semangat untuk membantu bagi keuntungan orang lain. Imbalannya tidak diharapkan seketika dan tanpa batas waktu tertentu. Pada masyarakat, dan pada kelompok-kelompok sosial yang terbentuk, yang di dalamnya memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat Keuntungan lain, masyarakat tersebut akan lebih mudah membangun diri, kelompok dan lingkungan sosial dan fisik mereka secara rnengagumkan.

3. Trust Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak. yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Robert D Putnam, 1993, 1995, dan 2002). Dalam pandangan Fukuyama (1995, 2002), trust adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan Modal Sosial.


4. Norma SosialNorma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Pengertian norma itu sendiri adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma ini biasanya terinstusionalisasi dan mengandung sangsi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya. Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota rnasyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial.


5. Nilai-Nilai Nilai adalah sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat.

6. Tindakan ProaktifSalah satu unsur penting Modal Sosial adalah keinginan yang kuat dan anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Ide dasar dan premise ini, bahwa seseorang atau kelompok senantiasa kreatif dan aktif. Mereka melibatkan diri dan mencari kesempatan kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja dan sisi material tapi juga kekayaan hubungan hubungan sosial, dan menguntungkan kelompok, tanpa merugikan orang lain, secara bersama-sama. Mereka cenderung tidak menyukai bantuan bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk lebih banyak melayani secara proaktif.


2.2. Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital)Bentuk Modal Sosial ini atau biasa juga disebut bentuk modern dan suatu pengelompokan, group, asosiasi atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada Prinsip Universalisme tentang persamaan, kebebasan, nilai-nilai kemajemukan dan kemanusiaan, terbuka dan mandiri. Prinsip pertama yaitu persamaan bahwasanya setiap anggota dalam suatu kelompok memiliki hak hak dan kewajiban yang sama. Setiap keputusan kelompok berdasarkan kesepakatan yang egaliter dan setiap anggota kelompok..Kedua, adalah kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Ketiga, adalah kemajemukan dan humanitarian. Bahwasanya nilai nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain merupakan prinsip prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok atau suatu melalui masyarakat tertentu.

By : Teguh Iman Prasetya

Formula Singkat Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan lawan dari percobaan untuk mengendalikan orang lain. Kepemimpinan bukan masalah apa yang terjadi pada saat Anda ada, tapi justru pada saat Anda tidak ada. Leadership Pill mencoba mengemas formula-formula kepemimpinan menjadi sebuah pil. Pelajaran mengenai kepemimpinan yang efektif dapat dipetik dari formula yang dihasilkan serta dari proses dalam membuat formula itu.

Formula kepemimpinan yang dikemas menjadi satu pil tersebut terbuat dari ramuan rahasia, yaitu integritas, kemitraan dan penegasan. Integritas diperoleh dari respek dan kepercayaan. Kemitraan akan mengumpulkan potensi-potensi yang ada dari anggota tim. Penegasan berarti menjadikan orang lain mengetahui kalau apa yang dilakukannya adalah penting. Penegasan juga menjadikan orang-orang merasa dihargai.

Sebuah tim yang berkinerja tinggi tidak boleh menjadi lambat hanya karena ada yang gagal dalam komitmen. Anggota tim yang tidak memiliki komitmen berarti tidak respek pada anggota lainnya. Kepemimpinan menjadi efektif apabila semuanya dimulai dari self-leadership setiap anggota. Kepemimpinan bersifat dua arah.

Kepemimpinan bukan merupakan apa yang Anda lakukan terhadap orang-orang, melainkan apa yang Anda lakukan bersama orang-orang. Kepercayaan tidaklah sama dengan respek. Respek berarti melibatkan orang lain dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain. Perbuatlah pada orang lain sama seperti apa yang Anda inginkan orang lain perbuat pada Anda. Selain itu, memimpin dengan memberikan contoh juga merupakan contoh yang nyata.

Memimpin dengan integritas berarti menjadi orang sebagaimana Anda mengharapkan orang lain menjadi dirinya. Kepercayaan berarti membiarkan orang lain melakukan apa yang menjadi wewenangnya serta bertindak secara sama, tidak peduli sang pemimpin berada di tempat ataukah tidak. Kepercayaan terjadi apabila nilai dan tingkah laku bertemu. Orang-orang semakin menaruh respek dan kepercayaan kepada pemimpin, apabila apa yang diucapkan sang pemimpin sama dengan apa yang dilakukannya.

Kunci kepemimpinan yang efektif terletak pada hubungan yang dibentuk bersama anggota tim. Formula rahasia yang kedua ini berakar dari berbagi informasi. Membagikan gambaran besar akan menjadikan setiap orang berada di halaman yang sama. Selain itu, waktu untuk berdiskusi secara satu per satu akan menambah kualitas kemitraan itu sendiri. Menjalankan tugas terasa lebih ringan apabila dikerjakan secara bersama-sama. Bukankah mendaki gunung terasa lebih gampang apabila dilakukan bersama-sama?

Pujian juga merupakan hal yang sangat penting dalam kepemimpinan. Pujian yang efektif apabila diberikan secara spesifik, tulus, dan dengan cepat setelah kejadian yang layak beroleh pujian terjadi. Pujian merupakan jalan terbaik bagi seseorang untuk mengetahui kalau karyanya diakui. Setiap orang juga memiliki tenaga untuk memberikan pujian. Ada kalanya kita menjumpai pekerja yang berkinerja kurang baik. Namun, kita juga harus mengakui kalau si pekerja itu masih memiliki kemampuan dan kesempatan untuk bekerja lebih baik.

Orang-orang akan berpikir untuk dirinya sendiri apabila Anda berhenti berpikir untuk mereka. Kepemimpinan pada dasarnya bagaimana membawa orang-orang menuju ke tempat yang seharusnya. Pencapaian yang tertinggi dari seorang pemimpin adalah memperoleh respek dan kepercayaan.

(Ringkasan dari buku The Leadership Pill, karya Ken Blancard dan Marc Muchnick)

Jumat, 21 November 2008

Profil Aman Nurahman Sabri


Nama : Aman Nurahman Sabri, SIP.

Tempat / Tgl. Lahir : Sukabumi, May 28th , 1980

Jenis Kelamin / Status : Pria / Menikah

Istri : dr. Wiwi Edhie Yulaviani

Anak : (1) Salsabila Nuralviani Rahman

(2) Sheilanissa Nuralviani Rahman

Alamat Rumah : Jl. Gudang Gg. Ridogalih No. 5 Kota Sukabumi 43112

Telepon : 0266-6247742

HP : 085624072598 / 0266-9119799

E-mail : aman_sabri@yahoo.com

Hobi : Olah raga (Tae Kwon Do), membaca, traveling

Kemampuan bahasa : Indonesia, English (fluently)

Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam

Riwayat Pendidikan

SDN Kebonjati II Kota Sukabumi

SMPN 6 Kota Sukabumi

SMAN 1 Kota Sukabumi

1998-2003 : Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta


PRESTASI YANG PERNAH DIRAIH / ACHIEVEMENTS THAT HAVE BEEN REACHEAD

Finalist of Youth Exchange Program between Indonesia and Canada Held by National Education Department of the Republic of Indonesia, the Special District of Jogjakarta

Participated In the ASEAN Tourism Forum 2002 as Liaison Officer which took place In Jogjakarta, Indonesia from January 21st –28th , 2002

First Champion of Tae Kwon Do In West Jakarta Invitation of Male Light Class (1992)

Second Champion of Male Fly Class of Harries Club I Tae Kwon Do Championship in Jabotabek-Suciban on December 13th 1993

Third Champion of Male Fly Class of Tae Kwon Do Regional Championship In West Java on November 27th -28th, 1993

First Champion of Male Light Class of Tae Kwon Do Regional Championship In West Java

Second Champion of Male Fin Class of Inter-Senior High School STIEB CUP I In West Java

Second Champion of Male Fin Class of Inter-Senior School STIEB CUP II In West Java

First Champion of Junior Light Class of EMCO CUP II In 1995 (West Java)

Core Team of National Tae Kwon Do Championship, Jakarta 1994, Junior Male Fly Class

First Champion of Male Fin Class of Tae Kwon Do Inter-University Invitation of Java and Bali on April 22nd -24th , UNPAR CUP 1999

First Champion of Male Fin Class of Regional Championship In Special District of Yogyakarta on September 2000, the best Male Athlete

Second Champion of Senior-Junior Regional Championship In Special District of Yogyakarta on November 21st to 22nd , 1998

Third Champion of Male Fin Class of Inter-University National Championship, Yogyakarta

National Third Grade Black Belt (DAN-III) of Tae Kwon Do Martial Art

PENGALAMAN ORGANISASI / ORGANIZATION EXPERIENCES

The Chairman of the Intraschool Student Organization of Public Junior School 6 of Sukabumi In 1991-1992

The Chairman of the Intraschool Student Organization of Public Senior School I of Sukabumi In 1996-1997

The General Chairman of Tae Kwon Do Student Activity of Gadjah Mada University In 1998, 1999, 2000, 2001

The Head of Training Affairs Department of PENGCAB ( Pengurus Cabang ) Tae Kwon Do of Yogyakarta Municipality In 1998-1999

The Head of Achievement and Building of Sport Joint Secretariate of Gadjah Mada University, Yogyakarta In 2000-2001

The Head of Research and Development of Public Relation and Organization of KOMAHI of Gadjah Mada University (Korps Mahasiswa Hubungan Internasional) In 1998-1999

The Head of KOSGORO (Kesatuan Organisasi Serbaguna dan Gotong Royong) Youth of Sukabumi Branch In 1997

The Head of Organization and Pancasila Youth Building of Sukabumi Branch In 1998

The Board Chairman of The Organization PORFIMAGAMA ( Pesta Olahraga dan Festival Seni Mahasiswa Universitas Gadjah Mada ) In February-March 2001

The Head of the Research and Development of Information, Technology, and Telecomunication of FKMHII ( Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia ) In 2000-2001

The Youth Organization Staff of DPW PAN Yogyakarta In 1999-2000

The Head of KOMTEK ( Komisi Teknik ) PENGDA ( Pengurus Daerah ) Tae Kwon Do of Special District of Yogyakarta In 1999-2000

Steering Committee (SC) of Camp For Peace and Democracy, Peace and Security Studies of Gadjah Mada University May 21st – June 1st 2002

Public Relations Coordinator of TIRAS (Tim Relawan Amien-Siswono)

Sukabumi Municipality for President Elections of Republic of Indonesia, June’ 2004

The Head of Training Affairs Department of PENGCAB ( Pengurus Cabang )

Tae Kwon Do of Kabupaten Sukabumi Municipality In 2002-at present

PENGALAMAN KERJA / JOB EXPERIENCES

Property Manager PT. Circleka Indonesia Utama (Minimarket Convienance Store), Bussines Development Department, Jakarta October 2006 – July 2008

Executive Director of Sukabumi Chamber of Commerce And Industry (KADINDA), Sukabumi April 2006 – September 2006

Marketing Executive KARTIKA AIRLINES, Jakarta November 2005 – March 2006

Executive Assistant of Member of Indonesian Legislative Assembly, Faction of National Mandate Party, Commision VII (Research & Technology, Energy & Mineral Resources, and Environmental) Jakarta – Senayan, October 2004 - September 2005

Assist of Lecture of South East Asia Government & Politics Studies, Gadjah Mada University, Yogyakarta 2000-2001

Assist of Lecture of Korea Government & Politics Studies and Korea Foreign Politics Studies, Gadjah Mada University, Yogyakarta 2001-2002

Assist of Lecture of Gender & Politics Studies, Gadjah Mada University, Yogyakarta 2000-2002

Assist of Lecture of SANRI (Sistem Administrasi Negara RI), STISIP (Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Widya Puri Sukabumi Municipality 2003-2004

PENGALAMAN LAINNYA / OTHER EXPERIENCES

June 26th 2003 Participant of seminar ”The Role of Mass Media and its influence on Foreign Policy Making Process”, held by Departement of Foreign Affairs and Faculty of Political and Social Sciences Gadjah Mada University, Yogyakarta

May 28th 2003 Participant of seminar “The Prospect Significancy of EURO in Indonesia: based on Investment, Trade, and Monetary Policy”, held by KOMAHI Gadjah Mada University and Bank Indonesia, Yogyakarta

May 03th 2003 Participant of National Seminar “WINDS OF WAR, WINDS OF PEACE; Inside the United States Global Political Agenda” held by KELOMPOK STUDI MAHASISWA PENGKAJI MASALAH INTERNASIONAL (KSMPMI)

INTERNATIONAL RELATIONS STUDENT BOARD In cooperation with DEPARTMENT OF INTERNATIONAL RELATIONS FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCES PARAHYANGAN CATHOLIC UNIVERSITY

May 19th 2001 Participant of Studium Generale ASEANATION KOMAHI (Korps Mahasiswa Hubungan Internasional) UGM, Yogyakarta

October 15th–19th 2000 Participant of Indonesian International Relations Students Meeting XII at Airlangga University, Surabaya.

October 07th-15th 2000 Participant of Diplomatic Course held by Organization of International Relations Students (KOMAHI) Gadjah Mada University, Yogyakarta

Profil Singkat Wilayah Cikole dan Citamiang, Kota Sukabumi


Gambar Peta Kota Sukabumi


Gambar Peta Kecamatan Cikole dan Citamiang

Kota Sukabumi adalah salah satu dari sembilan Kota di Jawa Barat. Kota Sukabumi berpenduduk sekitar 280 ribu jiwa, terdiri dari tujuh kecamatan. Kecamatan Cikole dan Citamiang adalah dua wilayah yang akan diwakili oleh Caleg PAN Aman Nurahman Sabri jika terpilih nanti.

Kecamatan Cikole masing-masing terdiri dari 6 Kelurahan, yaitu Subang Jaya, Cisarua, Cikole, Kebon Jati, Selabatu dan Gunung Parang. Sedangkan Kecamatan Citamiang terdiri dari 5 Kelurahan, yaitu Tipar, Nanggeleng, Gedong Panjang, Citamiang, dan Cikondang.

Kecamatan Cikole berpenduduk 53.188 jiwa, sedangkan Kecamatan Citamiang berpenduduk 44.229 jiwa (sumber : www.sukabumikota.go.id). Penduduknya terdiri dari berbagai macam etnis dan agama. Banyak sekali pendatang luar daerah, yang berasal dari berbagai wilayah di Tanah Air tinggal di dua kecamatan ini. Terdapat pula wilayah-wilayah yang memiliki penduduk terpadat di Kota Sukabumi berada di kedua kecamatan ini, seperti wilayah Kelurahan Cisarua, Cikole, serta wilayah Tipar, Citamiang.

Wilayah kedua kecamatan ini terletak di jantung Kota Sukabumi. Di sini juga terdapat fungsi-fungsi yang penting bagi kehidupan masyarakat, seperti perkantoran pemerintah Kota, perkantoran komersial dan jasa swasta, fasilitas publik, fasilitas pendidikan, fasilitas perdagangan, fasilitas kesehatan, fasilitas ibadah, pasar tradisional, dan ruang-ruang terbuka bagi warga kota.

Alamat Kecamatan :

Nama : Kecamatan Cikole
Camat : Wawan Gunawan P., S.Ip., M.Si.
Alamat : Jl. Mayawati Atas No. 16
Telepon : (0266) 218268

Nama : Kecamatan Citamiang
Camat : Drs. Adil Budiwan, M.Si.
Alamat : Jl. Pemuda I No. 53
Telepon : (0266) 222410

Membumikan Nilai Kepahlawanan


Setiap masyarakat negara punya pahlawannya sendiri yang sangat berjasa bagi peletak dasar dan pelopor bagi berdirinya negara itu. Setiap masa juga punya pahlawannya sendiri sesuai dengan perkembangan jaman, kebutuhan, pemikiran, dan pembaharuan. Namun masa kini tak dapat dipisahkan dengan masa lalu, karena apa yang kita dapatkan dan kita capai pada masa kini adalah akibat dari hasil pilihan, keputusan, dan perjuangan para pendahulu yang kita sebut dengan pahlawan tersebut.

Diperlukan pahlawan-pahlawan masa kini yang kontekstual, peka dan tanggap lingkungan, bekerja keras dan manusiawi untuk menangani berbagai permasalahan bangsa. Manusia- manusia yang tidak menyerahkan diri pada nasib, pihak atau keadaan yang tak dapat diubah, namun mampu mencukupkan kekurangan dan menambahkan kemampuan yang kemudian menjadi kelebihannya.

Perkembangbiakan dan pelestarian ketidaktahuan dan ketidakpahaman akan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kepahlawanan pada umat manusia, akan tumbuh dan berkembang pesat dengan lebih cepat daripada laju pertambahan jumlah manusia itu sendiri. Ini terjadi jika ada pengabaian, pembiaran dan tiadanya usaha sungguh-sungguh yang konkrit pada level masyarakat luas sehari-hari.

Oleh karena itu, budaya massal akan dengan cepat dimonopoli oleh pandangan tertentu, yaitu individualisme, konsumerisme, hedonisme, serba instan dan eksploitatif buta. Maka hidup pun akan terasa semakin dangkal tak bermakna. Semuanya dihitung dengan hitungan untung rugi ekonomi yang salah kaprah. Kesenjangan menjadi semakin dalam. Kepercayaan antarmanusia semakin sirna. Tanggung jawab, kejujuran, kenyamanan komunikasi, keramahan dan keamanan menjadi barang langka. Hal ini akan berdampak pada biaya ekonomi yang tinggi, karena harus pula memikirkan biaya jaminan keamanan, karena hilangnya rasa saling percaya dalam bermasyarakat tadi. Inilah dampak dari nilai-nilai dan konsep kepahlawanan, sikap ksatria, dan perwira yang semakin ditinggalkan. Kalau pun masih, hanya berhenti pada tataran wacana, tidak diwujudkan dalam peri kehidupan sehari-hari.

Kita juga tidak boleh terjebak dlam romantisme simbol, baju dan bentuk luar. Sampai pada pemujaan dan kultus individu yang berlebihan pada para pahlawan kita. Penyakralan, pengagamaan dan pengkultusan itulah, maka nilai-nilai kepahlawanan tidak memanusia, tidak membumi, dan tidak mengaktualisasi sesuai konteks kekinian. Nilai-nilai kepahlawanan ditempatkan pada tempat yang seolah maha tinggi, sehingga wajib mewujudkan dan melaksanakan seolah hanya subyektif pada para pahlawan di masa lalu dan sekarang diteruskan oleh keturunan dan keluarganya. Juga seolah hanya boleh dilaksanakan oleh orang-orang terpelajar, tokoh masyarakat, negarawan dan kalangan militer. Tidak sampai ke tingkat rakyat ‘kebanyakan’. Jadi seolah hanya menjadi milik atau hak sebagian orang, bukan milik seluruh rakyat. Rakyat hanya ditempatkan sebagai obyek, penikmat semu, penonton, pengamat, dan keranjang yang dijejali doktrin yang disakralisasi dengan tafsir tunggal yang diciptakan penguasa. Sehingga membuat rakyat menjadi bungkam, tidak punya sikap, pola pikir, pertimbangan, pilihan serta berkeputusan secara mandiri. Akibatnya mereka hanya menjadi pendukung dan pengekor buta yang tidak tahu akan dikemanakan, karena arah hidupnya sudah ditentukan oleh para patron yang berkuasa namun tidak bertanggung jawab. Di sinilah bukti bahwa feodalisme di negeri kita masih subur, walaupun telah berganti bentuk dan baju.

Nilai-nilai itu diperlakukan secara kaku, sehingga minim usaha untuk mengartikan ulang, membaharui sesuai konteks, merevitalisasikannya demi generasi sekarang dan masa datang. Dengan demikian nilai kepahlawanan hanya sampai pada tahap hafalan, sehingga tidak sampai ke pikiran, mengendapkan di hati, membatinkan di jiwa dan diwujudkan dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari.

Dengan konteks di atas, bangsa Indonesia secara sadar ataupun tidak telah mengingkari pengorbanan, jasa dan cita-cita luhur para pahlawannya. Tak heran jika bangsa ini tak kunjung bangkit dari krisis. Miskin pemimpin yang berkualitas, jujur, pekerja keras dan bermartabat. Miskin pelopor dan pembaharu yang berani mendorong menuju perubahan dan perbaikan, mendobrak kebekuan dan kemandegan, serta menantang arus air kotor yang makin deras mengalir ke jurang keterpurukan. Tak aneh jika bangsa ini menjadi negara yang taat beragama secara formal, namun juga sangat lihai untuk berkorupsi, manipulasi, memeras, menguras dan menggilas yang lemah. Senang pada hasil besar yang instan tanpa bekerja keras, dengan terus bermalasan, tidak memberi pada yang tekun, jujur dan benar, suka jalan pintas, bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, mabuk kemenangan semu di tengah jalan menuju kekalahan besar dalam proses yang belum selesai sama sekali. Tak heran pula jika sikap pengecut, penikmat semu dan pengkhianat terselubung sudah membudaya dalam sebagian besar rakyat kita. Sebagian diantaranya adalah perilaku lari dari tanggung jawab, tak mau menanggung akibat dan resiko, mencari keuntungan sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri tanpa memikirkan dampak buruk bagi orang banyak, melemparkan akibat buruk pada orang lain, dan mencari alasan ataupun pihak pendukung/ pelindung supaya ada pembenaran atas kesalahan yang dilakukan.

Nilai-nilai kepahlawanan mengarahkan kita sebagai manusia untuk tidak terpaku pada tujuan jangka pendek demi nafsu dan perut. Namun jauh lebih dari itu, menuntut komitmen kita untuk bertanggung jawab sebagai manusia yang berjiwa luhur, punya harga diri, martabat dan hati nurani.

Maka diubahlah sistem dalam usaha menanamkan dan mengimplementasikan nilai-nilai kepahlawanan sesuai dengan konteks masa kini. Mengubah paradigma lama, bahwa menghormati jasa pahlawan tidak berhenti pada menghafal nama, tanggal kelahiran dan kronologis peristiwa. Itu bukan titik habis, namun masih koma. Di belakang koma itulah perwujudan dan pelaksanaan yang membutuhkan komitmen, tanggung jawab, usaha dan keterlibatan bersama yang dilakukan sepanjang hayat. Pengejawantahan nilai-nilai kepahlawanan dalam unjuk kerja, belajar, perilaku, tata nilai, bersistem kehidupan secara berkelanjutan.

Masyarakat adalah tempat lahirnya nilai kepahlawanan, sekaligus tempat mempraktekkan nilai-nilai itu. Juga sebagai tempat perkembangbiakan nilai itu, baik secara kualitas, maupun kuantitas. Tempat membela kehidupan, kebenaran, keadilan dan kehormatan. Tempat memberikan informasi, menguji, mengevaluasi dan membaharui serta memperkuat nilai kepahlawanan. Negara lebih berperan sebagai fasilitator untuk mensosialisasikan, memperluas dan memperkuat sistem yang membumikan nilai kepahlawanan. Lembaga pendidikan adalah penggerak, terutama sebagai ‘gudang informasi’, tempat penggalian, pencarian dan penemuan kembali sejarah kepahlawanan bangsa yang masih terserak dan tersembunyi seantero Nusantara. Kemudian membangkitkan nilai-nilai kepahlawanan, mengkritisi tata bermasyarakat dan pemerintahan, dan gigih dalam mempelopori untuk memperjuangkan kebenaran.

Bangsa Indonesia harus pula menciptakan, melahirkan, memperbanyak dan membangkitkan kesadaran pahlawan-pahlawan masa kini yang masih mati suri. Pahlawan-pahlawan masa kini sebenarnya adalah rakyat itu sendiri, namun masih banyak yang masih belum terbangkitkan, baik karena sulit dan kurangnya akses, teladan, pendidikan, informasi, maupun kurangnya kemauan, usaha, kesadarannya sendiri. Sehingga bangsa ini bisa mengaktualisasikan diri, bebas namun bertanggung jawab, membangkitkan potensi diri, penuh nilai luhur akan kebenaran dan kemanusiaan, serta penghormatan martabat sebagai manusia baik pada diri sendiri maupun orang lain.

Pada hakikatnya setiap orang punya jiwa-jiwa kepahlawanan. Rakyat siapapun dia tanpa kecuali, punya martabat dan derajat yang sama, yang sama-sama berhak bahkan wajib mewujudkan nilai-nilai kepahlawanan dan menjadi pahlawan-pahlawan masa kini. Apalagi tradisi besar bangsa kita di masa lalu yang melahirkan dan menghasilkan banyak sekali pahlawan di tengah tekanan, penderitaan dan keterbatasan.

Dalam kehidupan sehari-hari, minimal dengan bekerja secara keras, cerdas, jujur dan bermartabat, kita sudah mewujudkan nilai-nilai kepahlawanan seketika itu juga. Ini jauh dari kesan sekenanya dan hanya sekedar basa-basi. Ini malah akan membawa dampak baik bagi kita, yaitu memelihara dan memperkuat jiwa kita, hati nurani, kepercayaan diri, karakter. Juga akan mewujudkan kemandirian, prestasi, kebebasan, kesejahteraan dan persaudaraan sejati.

Berbagai peristiwa yang terjadi di negeri kita, baik krisis ekonomi, krisis kepercayaan, krisis kemanusiaan, bencana alam, maupun bencana akibat ulah manusia, kerusuhan, maupun berbagai hal dalam berbagai lini kehidupan manusia (politik, ekonomi, sosial, budaya ), seharusnya menjadi refleksi. Ya, refleksi bahwa ada yang salah pada cara berpikir, perilaku, berkeputusan dan bertindak kita. Bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara kitalah yang melenceng jauh dari cita-cita para pahlawan. Pahlawan menjadi teladan supaya kita selalu renungkan dan membatinkan apakah cita-cita kita sesuai dengan cita-cita besar yang mereka dasarkan bagi kita? Bagaimana kita bertindak selama ini, dan bagaimana kita berencana sebagai pedoman tindakan di masa datang. Hal itu menuntut perhitungan yang matang dan detail.

Pahlawan dengan segala keteladanan dan nilai-nilai yang dijunjung dan dibelanya, bukanlah simbol pelengkap dan ide yang diam, pasif dan milik sebagian orang saja. Harus diubah pola pikir bahwa kepahlawanan hanya berhenti di makam-makam, museum, gedung atau tempat bersejarah, buku-buku dan foto-foto. Tapi pada hakikatnya teladan, nilai dan ide-ide luhur itu membutuhkan peran kita sebagai generasi penerus untuk mengejawantahkannya. Pahlawan tidak membutuhkan pujaan dan penghormatan berlebihan, tapi cita-citanyalah yang menyatukan mereka sebagai peletak dasar negeri dan masyarakat bangsa, dengan generasi sekarang dan masa datang dalam mewujudkan cita-cita itu.

Cita-cita pahlawan pada hakikatnya adalah manifestasi dari seluruh cita-cita luhur bangsa. Semangat, nilai-nilai, dan cita-cita yang mereka teladankan harus membuat kita semakin berani secara ksatria menghadapi tantangan dan masalah, baik dari luar maupun dari dalam diri kita. Semakin menghindar atau meminjam kekuatan dari luar, akan semakin menghancurkan dan mengasingkan kita dari kemanusiaan, kemasyarakatan, kebudayaan, dan kebangsaan kita sendiri. ***